HORAS....!
SELAMAT DATANG TUHAN MEMBERKATI

Minggu, 27 Februari 2011

PEMIMPIN YANG DEMOKRASI


PENDAHULUAN
Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan (memperbincangkan) tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis.
PEMBAHASAN
            Gaya demokratis dibangun berdasarkan tritunggal kemampuan kecerdasan emosi, kerja kelompok kolaborasi, pengelolaan konflik, dan pengaruh. Komunikator terbaik adalah pendengar yang baik-dan mendengarkan adalah kekuatan kunci pemimpin demokratis. Pemimpin seperti ini menciptakan perasaan bahwa mereka sungguh-sungguh ingin mendengarkan pikiran dan kepedulian pegawai dan mereka bersedia mendengarkan. Mereka huga kolaborator sejati, bekerja sebagai anggota kelompok dan bukan menjadi pemimpin yang berposisi di atas. Dan mereka tahu cara meredakan konflik dan menciptakan harmoni, misalnya memperbaiki keretakan di dalam kelompok.[1]
            Demokrasi dalam Alkitab
            Dalam Perjanjian Lama kita menemukan kenyataan bahwa agama Yahudi sekaligus menjadi Negara Yahudi, paling tidak setelah mulainya era Monarki. Dalam hal ini, bangsa memperoleh legitimasinya dari Allah sendiri. Allahlah yang memerintah secara langsung (teokrasi) melalui wakil-wakilnya, yaitu para raja. Dengan demikian, perasaan Keagamaan berkaitan dengan perasaan kebangsaan. Dengan kata lain, Agama Yahudi menciptakan dan meneguhkan perasaan kebangsaan tersebut. Situasi ini terus berlangsung hingga runtuhnya Israel.[2]
                Dalam sidang pengadilan manusia, keputusan diambil berdasarkan suara panitia / juri, tapi tidak melibatkan pengunjung. Dalam sidang Allah / penghakiman Allah, keputusan mutlak di tangan Allah (Mazmur 82:1-8). Dalam perjanjian lama keputusan ada di tangan Tuhan, yg dimintakan melalui perantaraan imam menggunakan undi / urim dan tumim.
Allah tidak membutuhkan penasehat. Sebab Allah Mahakuasa dan penghakiman-Nya adil.
Manusia membutuhkan penasehat, makanya raja2 sejak jaman dahulu membentuk team penasehat utk mengambil keputusan. Nasehat manusia sering tidak benar dan dapat menjerumuskan kepada kehancuran, apalagi kalau tidak meminta petunjuk Tuhan. Contohnya dalam 1 Raj. 12 di mana Rehabeam, anak Salomo meminta nasehat dari teman2 sebayanya. Dalam perjanjian baru para rasul juga mengadakan sidang utk membahas masalah sunat (Kis 15). Ini adalah pengambilan keputusan utk suatu masalah pelaksanaan ibadah. Walaupun tidak dicatat, tapi kita yakin bahwa sidang itu melibatkan Tuhan, didahului doa utk memohon pimpinan dan petunjuk Tuhan, dan hanya melibatkan rasul2 dan penatua2 (wakil2 dari para jemaat).[3]
 
            Jenis-jenis Demokrasi yang Pernah dijalankan di Indonesia[4]
            Dalam perjalanan sejarah bangsa, sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak pengalaman dan pelajaran yang kita ambil, terutama pelaksanaan demokrasi dalam bidang politik. Ada empat demokrasi yang pernah diterapkan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
1.      Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1949, pada masa berlakunya kehidupan politik dan pemerintahan tidak stabil, sehingga program dari suatu pemerintahan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan berkesinambungan. Salah satu penyebab ketidakstabilan tersebut adalah sering bergantinya pemerintahan yang melaksanakan pemerintahan.
2.      Demokrasi terpimpin, hal ini tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta budaya Indonesia. Namun dalam prakteknya, konsep-konsep tersebut tidak direalisasikan sebagaimana mestinya, sehingga seringkali menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
3.      Demokrasi Pancasila, demokrasi ini lahir dari kekeluargaan dan gotong-royong. Semangat kekeluargaan itu sendiri sudah lama dianut dalam masyrakat Indonesia. Terkhusus masyarakat pedesaan.
4.      Demokrasi Langsung, pada dasarnya demokrasi ini sama dengan demokrasi Pancasila. Perbedaannya terletak pada aturan pelaksanaan dan praktek penyelenggaraan. 

            Kepemimpinan yang Demokratis
            Kepemimpinan demokratis sering dinilai tidak ada hubungannya dengan Kharisma kepemimpinan karena berkaitan dengan corak kritik terhadap pemimpin. Namun, Weber mengatakan bahwa kharisma juga merujuk ke hal yang demokratis. Alasannya, pengakuan kharisma seorang pemimpin dari pengikutnya menunjukkan bahwa sesuai dengan jiwa demokrasi yang mengutamakan pengakuan rakyat. Hal yang sekaligus demokratis dan kharismatis adalah plebisit (suara rakyat) : pengambilan keputusan politis oleh rakyat dengan mendukung calon populer. Dalam plebisit, unsure kharisma dan demokratis dipadukan.[5]
            Pemimpin yang demokratis adalah seorang pemimpin yang berupaya menjalankan kepemimpinan dengan cara konsensus. Berbeda dengan yang otoriter, memimpin dengan cara selalu member perintah. Gaya otoriter dalam situasi darurat itu dapat lebih efektif. Gaya pemimpin demokratis dapat dikatakan cara kepemimpinan yang baling baik untuk semua situasi.[6]
            Dalam memantapkan hubungan diatara yang dipimpin, seorang pemimpin sangatlah baik dengan menggunakan gaya kepemimpinan demokratis. Dimana, para anggota yang dipimpin merasa diperlakukan sebagaimana mestinya. Mereka merasa diikutsertakan, diterima, dan diberi kesempatan untuk dapat menyumbangkan sesuatu demi kegiatan bersama. Gaya itu harus lagi dibubuhi dengan keterbukaan dan saling menghargai, untuk mendapatkan hal yang lebih baik lagi.[7]
Agama Kristen dan Demokrasi[8]
Agama Kristen dan demokrasi bersifat ambigu dalam sebagian besar sejarahnya. Hal ini tercermin dalam kecenderungan yang berlainan dalam gerakan kristiani (konservatif, reformis, radikal) dan kecenderungan dalam evolusi demokrasi (liberal dan sosialis). Wolfgang Huber secara tepay mengingatkan, bahwa keterkaitan antara iman kristiani dan nilai-nilai yang demokratis telah dibahayakan oleh jarak historis gereja-gereja terhadap demokrasi. Sementara itu, kekristenan barat tak diragukan telah menyediakan rahim yang mengandung system demokrasi, seperti yang kita tahu. Kekristenan telah member sumbangsih bagi terbentuknya visi demokrasi melalui kesaksiannya atas amanat nabi-nabi Yahudi kendatipun bersifat ambigu dan terlalu kompromi. Meskipun demikian, orang Kristen sama sekali tidak menggap demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik. Fakta yang menyamakan agama Kristen dengan sebuah sistem politik tertentu itu salah. Tidaklah berarti bahwa semua sistem pemerintahan sama-sama dapat diterima bagi iman kristiani.

HKBPdan Demokrasi
            Tentu kita mengaku bahwa Konfessi HKBP mengatakan bahwa gereja bukanlah berdasar kepada demokrasi tetapi kepada Kristokrasi. Artinya: kita mengaku bahwa Kristuslah, firman dan teladan hidupNya, penderitaan dan kebangkitanNya, serta RohNya-lah yang memerintah dan mengatur HKBP. Namun iman kita mengatakan tidak ada satu orang pun manusia yang boleh mengklaim dirinya sebagai Tuhan atau Kristus, tidak seorang pun boleh mengangkat dirinya satu-satunya wakil atau jurubicara Kristus, dan tidak seorang pun boleh memonopoli kebenaran, maka suara dan kehendak Kristus harus dicari dan ditemukan oleh banyak orang. Selanjutnya kita mengaku setiap manusia adalah orang berdosa (potensial juga keliru dan salah) dan dibenarkan karena iman dan anugerah semata. Berdasarkan itulah tidak ada keragu-raguan kita mengatakan demokrasi itulah sistem yang paling dekat kepada Kristokrasi.
            Namun kita tidak berhenti pada pemilihan pelayan atau pemimpin secara demokratis. Semangat demokrasi yang memenuhi kekristenan dan kebatakan HKBP itu haruslah kita gunakan memberdayakan seluruh bangsa ini. Dan itu pun dapat kita mulai dari diri kita sendiri. Sistem pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak yang kita anut tidak boleh ditujukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok sempit dan sesaat, tetapi demi kepentingan HKBP secara keseluruhan.

KESIMPULAN
            Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Gaya demokratis dibangun berdasarkan tritunggal kemampuan kecerdasan emosi, kerja kelompok kolaborasi, pengelolaan konflik, dan pengaruh. Pemimpin yang demokratis adalah seorang pemimpin yang berupaya menjalankan kepemimpinan dengan cara consensus. Agama Kristen dan demokrasi bersifat ambigu dalam sebagian besar sejarahnya. Hal ini tercermin dalam kecenderungan yang berlainan dalam gerakan kristiani (konservatif, reformis, radikal) dan kecenderungan dalam evolusi demokrasi (liberal dan sosialis). Fakta yang menyamakan agama Kristen dengan sebuah sistem politik tertentu itu salah. Tidaklah berarti bahwa semua sistem pemerintahan sama-sama dapat diterima bagi iman kristiani.


[1] Daniel Goleman, dkk., Kepemimpinan berdasarkan Kecerdasan Emosi, (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 82
[2] A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gununung Mulia, 2009 ), hlm. 18
[4] Srijanti, dkk., Etika Berwarga Negara; Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Salemba 4, 2008), hlm. 61-65
[5] Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 57
[6] James m. Henslin, Sosiologi dan Pendekatan Membumi ed.6, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 144
[7] A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 31
[8] John W de Gruchy , Agama Kristen dan Demokrasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 8-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar