HORAS....!
SELAMAT DATANG TUHAN MEMBERKATI

Minggu, 27 Februari 2011

O R A N G B O D O H (Suatu Kajian Biblis terhadap Kitab Amsal 14:18 dan Matius 7: 24-27)


O R A N G   B O D O H
(Suatu Kajian Biblis terhadap Kitab Amsal 14:18 dan Matius 7: 24-27)
1.      Pendahuluan
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pokok penekanan kitab Amsal berkenaan dengan persoalan bagaimana seseorang hidup secara berhikmat. Mayoritas orang memahami bahwa kebodohan itu lebih terkait dengan intelektualitas atau aspek kognitif. Dapat juga dikatakan, orang bodoh menekankan kesulitan juga dalam prakteknya. Dengan kata lain, banyak orang memposisikan kata bodoh sebagai antithesis dari pintar/pandai. Dalam sajian ini penulis akan membahas tentang Orang Bodoh. Judul ini berkaitan dengan Orang Yang Tidak Berpengalaman, karena dalam Amsal 14: 18 orang bodoh itu, adalah orang yang tidak berpengalaman. Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan terbatas kepada orang yang tidak berpengalaman yang disebut orang bodoh. Walaupun dalam Amsal 14:18 serta Matius 7: 24-27 terdapat antithesis dari  orang bodoh, yaitu orang bijaksana.
Bagaimana Kitab Amsal menyimpulkan bahwa orang yang tidak berpengalaman adalah orang bodoh? Tentu menarik sekali bagi penulis untuk menggali Kitab Amsal, serta melihat kesinambungannya dalam Injil Matius.
Untuk memperdalam hal tersebut diatas, penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut: 
I.                   Pendahuluan
II.                Study Etimologi dan Terminologi
III.             Pembimbing Khusus Kitab
3.1. Amsal 14:18
3.2. Matius 7:24-27
IV.             Tafsiran
4.1. Amsal 14:18
4.2. Matius 7:24-27
V.                Pokok-pokok Teologi
VI.             Relevansi
VII.          Kesimpulan

2.      Study Etimologi dan Terminologi
a.      Orang Bodoh
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bodoh menekankan tentang kesulitan orang dalam pengetahuan dan praktiknya. Dimana diartikan, kata bodoh dikaitkan dengan orang yang tidak mudah tahu atau tidak dapat mengerjakan sesuatu dan tidak memiliki pengetahuan.[1] Sementara itu, dalam Kitab Amsal kata bodoh yang digunakan 19 kali dalam kitab Amsal, selain merupakan antithesis dari hikmat, juga merupakan sebagai antithesis dari kata bijaksana. Arti kata ini berbeda-beda sesuai dengan konteks penggunaannya. Dalam awal pemakaian kata ini digunakan untuk menggambarkan cacat tubuh atau cacat mental. Namun dalam literatur hikmat (terkhusus hikmat PL), istilah ini digunakan sebagai penghinaan. Secara teologis, arti kata ini merujuk kepada orang yang mangabaikan, menolak, menghina Allah dan kebenaranNya melalui sikap, tutur kata, maupun pikiran mereka (band. Ul. 28:34; Mzm. 14:1; Yes.19:11; Yer.22:16; Hos.13:13).[2]
Dalam bahasa Yunani kata bodoh (moro)(Mat 7:24-27) dan gadis-gadis yang bijaksana dan bodoh (Matius 25:1-13) konsep "bijak" dan "bodoh" dikontraskan dari sudut pandang umum. Perumpamaan pertama juga ditemukan di Luk. 6:47-49. Perumpamaan itu  diambil dari kehidupan, dan karena itu mudah dipahami. Tindakan akhirnya benar sesuai dengan tuntutan kehati-hatian, dan bahwa dari orang-orang durhaka tersebut akhirnya ditunjukkan untuk menjadi bodoh. Kedua perumpamaan mengandaikan bahwa kita tidak bisa langsung membedakan antara apa yang bijaksana dan yang bodoh, tanpa sebelumnya diadakan pengujian. Oleh karena itu kedua perumpamaan yang berorientasi pada penghakiman terakhir.[3]
Anti thesis (moro) adalah pronimo Dalam tradisi sinoptik pronimo terjadi hanya dalam perumpamaan atau ucapan-ucapan parabola. Mt. 7:24 membandingkan pelaku Firman untuk pembangun bijaksana yang membangun rumahnya di atas batu. Inti kata ini adalah bahwa hamba bijaksana melempar dirinya ke dalam situasi di mana ia ditetapkan, mengambil arah dari tuannya. Demikian pula orang Kristen yang menetapkan Kristus sepenuhnya sebelum dia adalah bijaksana. Dalam perumpamaan tentang sepuluh gadis (Mat 25:1 dst.) Kebijaksanaan adalah kesiapan, untuk semuanya tergantung pada pertemuan yang sesungguhnya dengan Tuhan. Dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak adil (Luk. 16:08) kebijaksanaan memiliki rasa licik. tindakan tegas Cerdik dikenakan oleh keputusasaan situasi dan urgensi resultan. Dalam bertindak seperti yang dilakukannya, bahkan orang duniawi bisa menjadi model bagi anak-anak cahaya. Kata  pronimo dalam perumpamaan ini berlaku bagi mereka yang telah memahami posisi eskatologis manusia. Ini membantu kita untuk melihat mengapa istilah ini hadir dalam tradisi perumpamaan.[4]

b.      Orang Tidak Berpengalaman
Orang Tidak berpengalaman yang dapat diterjemahkan sebagai orang sederhana, bodoh, muda, dan orang naif. Secara istilah ini mengindikasikan suatu sikap yang lugu. Artinya tidak terdapat nuansa negative dibalik arti literal ini. Namun dalam perkembangannya, istilah ini digunakan secara ideomatis untuk orang yang karena terlalu polos sehingga mengabaikan segala pertimbangan yang deharusnya dilakukan. Istilah ini kemudian direlasikan dengan ketidakdewasaan atau orang yang bersikap terbuka terhadap segala sesuatu tanpa mempersoalkan benar atau salahnya. Kata ini digunakan sebanyak 14 kali dalam kitab Amsal.[5]

3.      Pembimbing Khusus Kitab
3.1. Amsal 14:18
Kitab Amsal secara hakiki berbeda dengan kitab lain dalam Alkitab, karena pendeknya masing-masing satuan. Ada dua macam gaya dalam bahan Kitab Amsal. Pertama adalah amsal, dan kedua adalah nasihat. Kedua bentuk sastra inilah yang mendominasi Kitab Amsal. Perlu diketahui, Kitab Amsal yang ada di dalam Alkitab sama dengan Amsal Sumeria yang berasal dari pertengahan abad 3 sM.[6]          
Secara umum dapat dikatakan bahwa pokok penekanan kitab Amsal berkenaan dengan persoalan tentang bagaimana seseorang hidup berhikmat.[7] Pendapat para ahli Perjanjian Lama bahwa kitab Amsal adalah sebuah koleksi pertama-tamaterkait dengan sumber-sumber dari materi kitab Amsal. Kitab ini memuat sekitar 300 dari 3000 amsal yang pernah digubah Salomo (Ams. 10:122:16; bnd. 1 Raj. 4:32); amsal-amsal orang bijak (Ams. 22:1724:22); amsal-amsal yang dikumpulkan pegawai Hizkia(Ams. 25:129:27); perkataan-perkataan Agur bin Yake (Ams. 30:1-33) dan puisi akrostik dari ibu Lamuel (Ams. 31:1-31). Selain itu, teori koleksi ini juga dikemukan berdasarkan adanya kemiripan (bahkan dapat dikatakan duplikatif) dari beberapa amsal (mis. Ams. 19:5 dan 19:9) dan persebaran tema-tema kitab ini yang tidak tersusun secara sistematis.Kenyataan tersebut mengindikasikan adanyaperiode transmisi atau suatu proses perkembangan panjang yang berasal dari berbagai sumber, dimana kolektor akhir kitab ini tidak merasa tertarik untuk menyusun tema-tema tersebut dalam kategori nalar modern yang sistematis.Di samping itu tidak dapat disangkali bahwa secara historis, pengajaran dalam bentuk amsal-amsal bukan diawali dengan munculnya kitab ini. Mayoritas ahli Perjanjian Lama menunjukkan bahwa sebelum periode kitab Amsal, telah tersimpan koleksi sastra hikmat yang berjumlah cukup banyak, termasuk kumpulan teks sastra amsal yang beredar luas dalam kebudayaan Mesopotamia, Mesir, dan dalam kelompok bahasa Semit Barat Laut sepanjang millennium ketiga sebelum Masehi. Adapun peredaran amsal-amsal tersebut bersifat lintas-negara (internasional).[8]
Kitab Amsal 14 memuat nasihat-nasihat, yang lebih berhubungan dengan budi pekerti. Atau dapat dikatakan sedikit yang langsung berhubungan dengan Allah. Kitab ini disusun dalam masyarakat Israel dan sekitarnya sejak abad 11 (zaman Daud) sampai dengan abad 3 sebelum Masehi. Dalam pembagiannya pasal 14 termasuk kedalam nasihat-nasihat Raja Salomo (Pasal 10:1-22:16).[9]
3.2. Matius 7:24-27
Matius 7:24-27 berisikan sebuah perumpamaan singkat tentang dua macam rumah. Perumpamaan ini sesungguhnya berperan sebagai kesimpulan seluruh khotbah Yesus di bukit. Matius suka menarik kesimpulan dengan mengadakan/ mengemukakan perbandingan. Injil Matius lebih dari sekedar buku pertama dari Perjanjian Baru dengan berbagai cara, itu adalah jembatan antara Perjanjian Lama dan Baru. Ini adalah buku yang jelas jelas Yahudi dan Kristen, secara bersamaan. Dua fakta tentang Matius sebagai penulis Injil yang berguna untuk dipertimbangkan. Pertama, dia adalah saksi mata kehidupan Yesus. Gereja telah disepakati dari awal dokumen dicatat bahwa Matius adalah salah satu dari dua belas murid terkait erat dengan Yesus. Kedua, Matius adalah seorang pemungut pajak sebelum orang mengikuti Yesus. Dia memiliki pemikiran akuntan ia menulis dengan presisi, susunan yang sistematis, dan logika. Sejak abad-abad awal, gereja sangat bergantung pada Injil Matius untuk menginstruksikan hal-hal  baru.[10]

4.      Tafsiran
4.1. Amsal 14:18
Dalam Amsal 14:18 orang bodoh disamakan dengan orang yang tidak berpengalaman. Dalam Amsal 14:18 ini, jika dikaitkan dengan ayat-ayat dalam Amsal tentang orang yang tidak berpengalaman (ada 14 kali dalam Kitab Amsal), ada dua karakteristik yang dimaksudkan sebagai orang yang tidak berpengalaman. Pertama, orang yang tidak berpengalaman adalah orang yang tidak berpikir panjang. Terkait berpikir panjang, karena hendak memberikan penekanan yang kuat akan pertimbangan yang matang untuk melakukan sesuatu. Dalam Amsal 14:18 orang yang tidak berpengalaman dibandingkan dengan orang bijak yang berpengetahuan. Orang bijak yang berpengetahuan berusaha akan menghindari malapetaka, sedangkan orang yang tidak berpengalaman akan menghampirinya. Sebutan orang bijak dan yang tidak berpengalaman diberikan bukan karena mereka berani atau tidak berani menghadapi persoalan. Tetapi, sebutan itu ditujukan untuk kemampuan seseorang untuk melihat dampak yang merugikan dari sesuatu yang akan dikerjakan atau dilakukan. Dalam Amsal 14:18 ini ditekankan bahwa orang bijak bukan semata-mata yang mampu mengelak malapetaka, melainkan juga yang berpengetahuan untuk mencari tempat perlindungan yang sesuai dengan tempat yang melindunginya dari tantangan sebesar apapun. Sama halnya dengan orang yang tidak berpengalaman, yaitu orang yang tidak berpikir untuk bertindak. Orang yang tdak berpengalaman digunakan bagi orang yang mengabaikan pertimbangan yang matang, atau lebih dikuasai oleh keinginan hasrat/ keinginan daging. Orang yang tidak berpengalaman tidak akan memperhitungkan akibat dari perbuatannya.[11]
Kedua, Orang yang tidak berpengalaman adalah, orang yang percaya akan segala sesuatu. Dikatakan demikian karena orang yang seperti ini telah kehilangan filter terhadap segala sesuatu yang ia lihat, alami dan dengar. Ketika berhadapan dengan realitas, orang seperti ini tidak akan memiliki suatu dasar pertimbangan yang dapat dia pakai untuk menilai atau mengvaluasinya. Orang bodoh yang tidak berpengalaman ini, merupakan orang yang mudah ditipu. Amsal 14:18 ini dikaitkan dengan Amsal 14:15 adalah sama, dimana karakter orang yang tidak berpengalaman tidak akan mampu melindungi hidupnya sendiri, seperti tema besar kitab Amsal, tidak akan mampu menjadikan hidupnya kepada hikmat.[12]
Akibat dari orang yang tidak berpengalaman dalam Amsal 14:18 ini, dapat kita lihat dalam Amsal 1:32 yang menggemakan akibat yang ditanggung oleh orang yang tidak berpengalaman dalam sikap negatifnya terhadap wanita hikmat. Orang yang tidak berpengalaman mengikuti wanita bodoh. Pilihan yang salah itu, menempatkan orang yang tidak berpengalaman pada kematian. Barang siapa yang menolak hikmat akan mendapat celaka, sebaliknya yang menyambut ajakannya akan tinggal dengan aman, terlindung dari bahaya.[13]

4.2. Matius 7:24-27
Dalam ayat 24-27 secara umum dapat kita lihat bahwa dalam ayat tersebut Yesus mengakhiri Khotbah di Bukit dengan suatu peringatan yang terakhir, dalam bentuk perumpamaan. Perumpamaan yang termasyhur itu, tentang rumah diatas batu dan rumah diatas pasir. Perumpamaan ini dapat dimengerti dengan baik, jika kita melihat iklim yang terdapat di Palestina. Di Palestina setiap tahun ada musim kemarau tanpa hujan apapun, kira-kira bulan Mei s/d bulan September. Pada musim kemarau yang lama itu tanah menjadi keras, sehingga seorang yang bodoh dapat mengira bahwa sebuah rumah yang terbuat dari batu dapat didirikan langsung diatas tanah yang keras. Tetapi, dia lupa bahwa di Palestina pada musim hujan biasanya ada hujan yang sangat lebat sekali disertai dengan angin rebut. Pada waktu air hujan merendam, maka bangunan yang ada diatas tanah tersebut tidak tahan sehingga rumah itu akan roboh total. Disini Yesus menekankan, bahwa hanya mendengar saja tidak cukup; perlulah perintah-perintahnya dilaksanakan.[14]

Stefan Leks, menafsirkan ayat 24-27 sebagai berikut: [15]
Ayat 24: dalam teks ini disajikan perumpamaan tentang dua jenis rumah. Matius berbicara tentang rumah, bukan tentang tenda. Rumah di Palestina sepenuhnya tergantung kepada jenis tanah yang ada. Rumah di Palestina adalah benar-benar berfungsi sebagai tempat kediaman dan perlindungan terutama diwaktu buruk. Ayat 25: Makna ungkapan Yesus tentang hujan deras, banjir, dan angin ini dengan mudah dimengerti dengan melihat latar belakangnya dalam PL: Allah akan bertindak untuk menguji ketangguhan hidup manusia. Karena Yesus tidak mengatakan kapan hal tersebut terjadi, dapat disimpulkan bahwa ucapan Yesus ini mengacu kepada penghakiman terakhir. Ayat 26: Dalam ayat ini Matius berbicara tentang orang bodoh yang membangun rumahnya diatas pasir. Menurut Matius bahwa kebodohan ataupun kebijaksanaan tergantung dari cara (tepat atau tidak tepat) yang dipakai manusia dalam keadaan konkret tertentu. Tetapi, yang sungguh bijaksana ialah orang yang menilai setiap situasi dari prespektif kedatangan Tuhan, yang memahaminya secara eskatologis. Orang menjadi bodoh bila menentang hukum Allah yang tergenapi dalam Kristus.
Perumpamaan ini menceritakan tentang dua orang, yang seorang bijaksana dan yang lain seorang yang bodoh. Orang yang bijaksana digambarkan mendirikan rumahnya di atas batu, sedangkan orang yang bodoh mendirikannya di atas pasir (Matius) atau tanah tanpa dasar (Lukas). Kemudian kedua rumah tersebut dilanda hujan dan banjir serta angin; rumah orang yang bijaksana digambarkan tetap berdiri setelah badai berlalu sebab dibangun dengan dasar yang kuat, yaitu batu; sedangkan rumah orang yang bodoh itu rubuh setelah dilanda badai sebab dibangun di atas dasar yang mudah goyah, yaitu pasir. Yesus sendiri yang menjelaskan tentang perumpamaan ini. Orang yang mendirikan rumahnya di atas batu melambangkan orang yang mendengar perkataan Yesus dan melakukannya, maka ketika hidupnya dilanda badai, ia akan tetap setia karena landasannya teguh; sedangkan orang yang mendirikan rumahnya di atas pasir melambangkan orang yang mendengar perkataan Yesus tetapi tidak melakukannya, maka ketika hidupnya dilanda badai, ia akan jatuh karena ia tidak mempunyai landasan yang kokoh.[16]


Dua macam
orang
Dua macam
landasan
Dihadapkan dengan
topan badai
Dua macam
pendengar
Dihadapkan dengan
badai kehidupan
Orang bijaksana
Membangun rumah
di atas batu
Dilanda badai tetap berdiri
Pendengar yang melakukan ajaranNya
Dihadapkan kesulitan
tidak goyah
Orang bodoh
Membangun rumah
di atas pasir
Dilanda badai lalu rubuh
Pendengar yang tidak melakukannya
Dihadapkan kesulitan
maka menyerah


5.      Pokok-pokok Teologi
Teologi hikmat itu berdasarkan pengalaman. Manusia memperhatikan kejadian di dalam alam dan masyarakat. Lalu, ia membandingkan apakah ada yang terjadi antara yang satu dengan yang lain. Akhirnya, ia mengambil kesimpulan dengan tujuan untuk memperoleh kebaikan, serta melakukan pekerjaan yang lain. Di dalam masyarakat, tindakan tertentu membawa hasil yang selalu serupa. Di situ pun pengetahuan berdasarkan pengalaman berguna untuk kebaikan priibadi dan bersama. Menggunakan akal budi untuk memperoleh pedoman hidup, yang senantiasa diuji dengan pengalaman baru dan disesuaikan, itulah dasar teologi Hikmat.ditujukan kepada setiap orang. Ajaran teologi hikmat membedakan dua sikap dan perilaku. Yang satu menghasilkan bahagia, yang lain menghasilkan celaka. Hikmat selalu dikemukakan dengan penuh keyakinan dan wibawa.[17]Teologi hikmat adalah penggunaan yang tepat dari pengetahuan. Oleh karena itu, hikmat yang sempurna adalah penggunaan yang tepat dari pengetahuan yang sempurna.[18]
Pokok teologi yang terdapat dalam Amsal 14:18 dan Matius 7:24-27, adalah Teologi Hikmat. Teologi Hikmat banyak memiliki kesamaan dengan teologi-teologi yang dibicarakan. Teologi Hikmat berurusan dengan makna teks dan pengalaman. Teologi Hikmat terletak terutama sekali dalam wawasan yang dimaksudkannya, pusat perhatian dan logikanya. Teologi Hikmat secara harafiah adalah duniawi. Titik teologi hikmat sering terpusat pada psikologi, yakni pengalaman manusia. Dalam pengalaman itulah manusia merenungkan peranan Allah dan seluruh Ciptaan. Teologi hikmat telah berkembang dalam masa-masa dan di tempat-tempat yang beranekaragam. Namun tidak dapat dipungkiri, teologi hikmat tampaknya berada hanya sebatas kerangka intelektual dalam Kekristenan. Teologi hikmat menaruh perhatian dalam kemampuan melihat dunia. Teologi hikmat lebih dari pendidikan dan kekayaan (Intelektual dan hal duniawi), melainkan teologi hikmat merupakan wahana yang alamiah untuk ungkapan Iman Kekristenan. Oleh karena itu, teologi Hikmat dominan dikalangan Kristen. Teologi ini mengukuhkan kehadirannya: pencarian kesatuan dalam diri dan masyarakat sebagai jalan kepada Allah, sumber segala kesatuan. [19]
Kesinambungan Amsal 14:18 dengan Matius 7:24-27
Dalam Amsal 14:18 orang bodoh dikatakan orang yang tidak berpengalaman. Sedangkan dalam Matius 7:24-27 orang bodoh adalah orang yang mendirikan rumahnya diatas pasir. Secara jelas tidak ada terdapat kesinambungan dari dua nas ini. Namun, berangkat dari teologi yang terkandung di dalamnya. Kedua nas PL dan PB ini menekankan hikmat. Orang yang bijaksana, adalah orang yang berhikmat. Sedangkan orang bodoh kedua nas ini menekankan akan celaka.
Kata bodoh dalam Amsal 14:18 orang yang mangabaikan, menolak, menghina Allah dan kebenaranNya melalui sikap, tutur kata, maupun pikiran mereka. Sedangkan dalam Matius 7:24-27 bodoh" dikontraskan dari sudut pandang umum. Perumpamaan ini juga ditemukan di Luk. 6:47-49. Perumpamaan itu  diambil dari kehidupan, dan karena itu mudah dipahami. Tindakan akhirnya benar sesuai dengan tuntutan kehati-hatian, dan bahwa dari orang-orang durhaka tersebut akhirnya ditunjukkan untuk menjadi bodoh. Keduanas baik PL dan PB menekankan kita tidak bisa langsung memberikan pembedaan yang nyata antara yang bodoh dan bijaksana.
Ketidaksinambungan terletak juga dalam: jika dalam Amsal 14:18 bodoh dan bijaksana terkait dengan kehidupan (dapat dikatakan praksis/ duniawi) kini dan disini, sementara dalam Matius 7:24-27 tujuannya adalah untuk penghakiman terakhir.

6.      Refleksi
Sudah tahu salah diperbuat juga. Mengetahui dari mana salah tentu sudah ada pengalaman. Orang yang tidak berpengalaman adalah orang bodoh. Orang sudah tahu kalu mendirikan rumah diatas pasir akan runtuh akibat hujan/badai, malah ada juga yang melakukannya. Orang bodoh yang melakukan demikian. Orang bijaksana belajar dari pengalaman yang kaya akan pengetahuan, ia akan bermahkotakan pengetahuan. Yang demikian yang mendirikan rumah diatas batu yang akan tetap kokoh apa pun yang terjadi.
Pengalaman dan pengetahuan sering di salah gunakan oleh masyarakat. Pengalaman dan pengetahuan digunakan untuk menipu orang lain, korupsi, menindas dan lain-lain. Orang yang seperti ini adalah orang yang tidak berhikmat atau sama saja dengan orang bodoh.
Dua macam dasar, diatas batu atau diatas pasir. Untuk menjalani hidup, kita harus mempunyai prinsip yang mana yang menjadi dasar kita, apakah diatas pasir yang akan menghanyutkan kita, atau diatas batu yang akan teguh, apapun yang menerjang baik badai sekalipun.

7.      Kesimpulan
a.      Orang bodoh adalah orang yang tidak berpengalaman yang tidak berpikiran panjang serta mempercayai segala sesuatu dengan begitu saja (Amsal 14:18). Orang bodoh juga adalah orang yang mendirikan rumahnya diatas pasir, yang tidak memiliki pendirian, mudah goyah dan langsung menyerah menghadapi badai kehidupan. Orang bodoh adalh yang menentang hokum Allah dalam diri Yesus. (Mat. 7:24-27).
b.      Teologi Hikmat berdasar kepada pengalaman. Teologi hikmat mengukuhkan kehadirannya: pencarian kesatuan dalam diri dan masyarakat sebagai jalan kepada Allah, sumber segala kesatuan.
c.       Tidak terdapat kesinambungan yang jelas antara nas PL dan PB. Namun kedua nas tersebut, memiliki kesinambungan dalam hal teologi yang ditekankan, yaitu Teologi hikmat.
d.      Hikmat sangat berkaitan dengan Pengalaman dan Pengetahuan


[1] Band. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 2005: hlm. 159.
[2] Lih. G.Johannes Botterweck & Helmer Ringren, The New International Dictionary of Old Testament Theology Volume 1, Wm. B. Eerdmans Publishing Company, Michigant 1974: 137-140.
[3] Lih. Bertram dalam The New International Dictionary of New Testament Theology Volume IV (Ed. Gerhard Kittel), Wm. B. Eerdmans Publishing Company, Michigant 1942: 843-844.
[4] Lih. Bertram dalam The New International Dictionary of New Testament Theology Volume IV (Ed. Gerhard Friedrich), Wm. B. Eerdmans Publishing Company, Michigant 1942: 843-844.
[5] William Dyrness,Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Gandum Mas, Malang 2004: hlm. 178.
[6] Lih. Lawrence E Boadt, dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (ed.Dianne Bergant & Robert J Karris), Kanisius, Yogyakarta 2002: hlm. 463-467.
[7] Pengertian HOKMA terkait dengan skil, kemampuan to excel in particular activity Lih. R.B.Y. Scott, Proverbs and Ecclesiastes, Doubleday & Company, New York 1965: hlm. 23. Meskipun demikian harus diakui bahwa hikmat memiliki pengertian yang lebih kaya daripada sekedar keahlian Praktis. Band. Tremper Longman, How to Read Proverbs, Intervarsity Press, Downers Grove 2002: hlm. 14-15.
[8] Lih.William E. Mouser, Getting the Most Out of Proverbs, : Zondervan Pulishing  House,  Grand Rapids, Michigan1991: hlm. 19.
[9] Lih.Al. Purwa Hadiwardoyo, Catatan-catatan Singkat tentang Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta 2001: hlm. 31.
[10] Lih. Henry Blackaby, dkk, The Gospel of Matthew, Nasville Trademark, USA 2007: hlm. 7-8.
[11] Lih. Charles Bridges, A Commentary on Proverbs, The Banner of Trusth Trust, Edinburgh 1994: hlm. 69.
[12] Lih. Eldon Woodcock,Proverbs: A Topical Study; Bible Study Commentary, Zondervan Publishing House,  Grand Rapids, Michigan 1988: hlm. 111.
[13] Longman, Op.Cit., hlm. 35.
[14] Lih. J.J.de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994: hlm. 130-131.
[15] Lih. Stefan Leks, Tafsir Injil Matius, Kanisius, Yogyakarta 2002: hlm. 192-196.
[16] Lih. Perumpamaan Yesus dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perumpamaan_dua_macam_dasar, dikunjungi Tanggal 08 September 2010
[17] Lih. Christoph Barth & Marie Claire, Teologi Perjanjian Lama 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2010: 180-183
[18] Band. Donal Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008: 71-72
[19] Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 143-148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar