HORAS....!
SELAMAT DATANG TUHAN MEMBERKATI

Minggu, 27 Februari 2011

Kota Kinabalu, 23 Pebruari 2010

Sudah satu bulan lebih kami berada di Sabah Teeological Seminary (STS) ini. Tentu dalam waktu itu juga sudah terdapat berbagai pengalaman di tempat ini. Pada awalnya tiba di tempat ini, kami sungguh merasa orang asing. Dan pada awalnya, haruslah kembali menyesuaikan diri di tempat ini. Namun, lama kelamaan akhirnya terbiasa juga.
Dalam kesempatan ini, kami akan membagikan sedikit pengalaman baik dalam perkuliahan, maupun dalam asrama.
1.      Dalam Perkuliahan
Sebagaimana sebelumnya sudah diberitahu, bahwa kami di STS ini mengambil 4 mata kuliah :
·         Teologi Feminist Paulus
Mata kuliah ini diajar oleh seorang dosen perempuan ( Dr. Ruth). Ibu ini berasal dari Sekolah Theologi yang ada di Kalimantan, namun asli dari Jerman. Ibu ini sangat tegas sekali dalam mengajar. Hingga hal-hal kecil, seperti HP harus non aktif. Dalam kelas ini kami menjadi pendengar saja. Namun, sangat menarik belajar dalam mata kuliah ini. Latar belakang Dr. Ruth yang dari Katolik, menurut kami sangat tegas (dan mendekati radikal) berbicara tentang Partohonan Perempuan. Bukan hanya masalah pelayan perempuan, namun sampai pada perempuan dalam jabatan gereja.
Kelas ini masuk 2 kali seminggu Senin (07.40 – 09.25) dan Kamis (07.40 – 09.25). kelas ini masuk 2 kali dalam seminggu dikarenakan, ibu Ruth mengajar hanya sampai dengan 07 Maret 2011. Beruntung kami masuk dengan kelas ini, karena bisa lebih mendalami teologi feminist, apalagi yang diperhadapkan dengan surat-surat Paulus.
·         Teologi Sosial
Dosen dari mata kuliah ini adalah Rev. Francis Danil. Beliau ini merupakan alumni dari UKDW Yogyakarta. Dalam mata kuliah ini, lebih mengacu kepada sosial dalam suku-suku yang ada di Malaysia secara umum, dan suku-suku di Sabah secara khusus. Namun, dengan kehadiran kami, kelas ini sedikit terbuka dan akhirnya kami diberikan juga kesempatan dengan memperkenalkan sosial masyarakat batak, melalui tugas-tugas mingguan yang selalu dikumpul, yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat batak. Dalam kelas ini juga ada kelompok diskusi yang berdasarkan kelompok suku, yang masing-masing kelompok ini akan membuat presentasi kehidupan sosial dan budaya sukunya, dan diperhadapkan dengan Teologi atau Kekristenan. Dengan kehadiran kami juga di kelas ini, akhirnya ada tambahan kelompok, dan kami menjadi satu kelompok yang akan memperkenalkan kehidupan sosial masyarakat batak dan diperhadapkan dengan Kekristenan.
Kelas ini masuk hari Selasa (10.30-12.15).
·         Humanical and Environmental Care
Dosennya adalah: Lawrence Hee.
Pada awal masuk kelas ini, kami kurang tahu apa yang akan dipelajari dalam kelas ini. Namun, setelah pertama sekali masuk kelas, ternyata kelas ini merupakan kelas praktika. Dimana, lebih membangun diri untuk melihat masalah-masalah sosial. Dalam kelas ini juga, menunjukkan bagaimana gereja dalam masyarakat. Sebagai contoh: bagaimana sikap gereja terhadap UU (Undang-undang) yang di tetapkan pemerintah, bagaimana seorang pendeta menyikapi kasus kawin muda yang bertentangan dengan UU Pernikahan Malaysia? Kelas ini memiliki tugas yang akan diseminarkan dihadapan kelas. Setiap pertemuan, biasanya dipilih beberapa orang untuk menyampaikan/ presentasi. Menarik sekali belajar dalam kelas ini. Kelas ini masuk setiap hari Jumat malam (19.00-21.40)
·         Agama Dunia
Agama dunia, tidak asing lagi. Sama saja dengan teologi agama-agama yang sudah selesai di STT HKBP. Namun, dalam kelas ini semakin diperdalam lagi dalam masing-masing agama itu sendiri. Dosennya juga yang tidak asing, Prof. Olaf. Kelas ini masuk hari Rabu (10.30-12.16) dan hari Jumat (08.35-09.25).
2.      Dalam Kehidupan Asrama
Asrama STS berada tidak terlalu jauh dari Kampus. Dalam kehidupan asrama, saya sudah menyesuaikan diri dengan semua penghuni, terkhusus penghuni LT.6 (karena saya tinggal di Lantai 6). Walaupun seperti itu, untuk bergaul dengan orang-orang China, sedikit agak sulit, karena sebahagian besar  diantara mereka tidak paham berbahasa Melayu. Dalam kamar, saya tinggal sendiri. Fasilitas kamar memadai, seperti lemari, meja belajar, dan juga tempat tidur.
 
Oleh Mellyanti Harianja (asrama putri)
Awal yang cukup sulit kurasakan untuk menyesuaikan diri di sini. Entah kenapa kali ini aku sering merasa sendiri. Tetapi perlahan-lahan aku mulai dapat menyesuaikan diri dengan mendekati pertama-tama anak Melayu, kemudian saudaria/I Cina. Hidup di asrama tidak seperti di STT HKBP dan memang sangat berbeda. Perbedaannya yaitu keramahtamahan sama sekali tidak digalakkan. Ketika masuk kamar orang lain, masuk begitu saja dan langsung ngerocos dengan orang yang ingin dijumpainya, keluar pun begitu juga. Saya sangat risih melihat fenomena ini. Saya tinggal di lantai 3 dan teman saya disini adalah anak STM (Short Term Missin) yang hanya belajar 3 bulan. Mungkin inilah penyebabnya mereka tidak memahami bagaimana hidup di asrama.
Makan
Berkaitan dengan Makan. Dalam Asrama, makan ada tiga kali sehari. Pagi hari (yang biasanya hanyalah sebatas sarapan saja, seperti roti, dan mie ditambah secangkir susu) pukul 06.45. untuk makan siang (12.45) dan makan malam (06.00). Untuk menu makan, baik. ketika makan, berdoa hanya awal saja dan ketika pulangpun tidak bersama namun siapa duluan siap itu yang dahulu. Akan tetapi, ada yang istimewa dimana mahasiswa/I menyuci piring sendiri dan juga peralatan dapur dan itu dilakukan dengan bersama dalam kelompok-kelompok. Secara umum, dari segi fasilitas lebih  lengkap di STS.
Ibadah
Kemudian berkaitan dengan Ibadah.
Hari senin ibadah hanyalah di malam hari, pukul 19.00, ibadahnya disebut dengan ibadah suku. Dimana semua yang satu suka, berkumpul dan mengambil tempat masing-masing untuk kebaktian. Dengan demikian, ada satu kelompok suku campuran, dan kami bergabung di dalamnya.
Hari Selasa, pukul 09.40-10.15, ada yang disebut dengan Family Group. Dimana setiap satu orang dosen, memiliki group mahasiswa yang menjadi seperti keluarga. Maka pada hari ini, berkumpul layaknya keluarga. Ada yang pergi ke luar untuk makan, ada yang sharing di kampus, dll. Malam hari Selasa, ada ibadah Bahasa Melayu dan China yang tempatnya dipisah. Pukul 19.00-19.30.
Hari Rabu, pukul 09.40-10.30 ada ibadah B.Melayu dan China yang tempatnya juga dipisah. Malam hari ada ibadah gabungan Bahasa Melayu dan China.
Hari Kamis, pukul 09.40-10.30 ibadah gabungan. Dan malam hari bahasa melayu dan china yang dipisah.
Di hari Jumat, tidak ada ibadah.
3.      Lain-lain
a.       Untuk ibadah setiap hari minggu, kami ikut dengan kegiatan Tahun I dimana setiap hari minggu ada kunjungan (lawatan) ke gereja-gereja. Hal ini juga menguntungkan karena akan mengenal beberapa gereja di tempat ini.
b.      Perpustakaan. Perpustakaan yang nyaman, namun suply buku rata-rata dari Indonesia, dan belum mempunyai banyak koleksi buku. Dalam waktu ini, mereka sedang melengkapi koleksi-koleksi buku di Perpustakaan. Perpustakaan full AC, dilengkapi mesin F.Copy, dilengkapi beberapa unit Computer yang free Internet, dan juga free wifi.
c.       Wifi. Untuk wifi, hanya berada di beberapa tempat tertentu. Yaitu, Perpustakaan, Kantor, dan Ruang Makan di Asrama. Wifi aktif dari pukul 08.00 pagi s/d 22.00 malam.
d.      Dalam Kuliah, ada waktu istirahat selama 5 menit, dan ada loby istirahat untuk mahasiswa yang dilengkapi dengan snack dan air minum. Tempat ini juga sebagai tempat pengumuman-pengumuman di mading, dan juga tempat Locker.
 
Demikianlah pengalaman ini kami  sampaikan untuk saat ini. Horas ma  tangiangkon hamu ma hami dison asa lam lancar perkuliahan, jala boi denggan berjalan.
Mauliate , Syalom..
Gomgom & Mellyanti

KE-ESAAN GEREJA BAGI GEREJA YANG TERGABUNG DALAM GERAKAN OIKUMENE GKPS Salah Satu Gereja yang tergabung dalam Gerakan Oikumene Oleh: Gomgom Tua Pasaribu (Mahasiswa STT HKBP Pematang Siantar

Berbicara tentang ke-esaan gereja, identik dengan persekutuan gereja-gereja. Dan dalam pembahasan ini kita akan melihat bagaimana persekutuan gereja itu dengan gereja yang ada di dalamnya. Bagaimana dan apa dasar masuknya suatu gereja ke dalam Persekutuan Gereja-gereja. Dalam tulisan ini, penulis mengadakan wawancara dengan narasumber dari salah satu gereja yang masuk dalam gerakan Oikumene, yaitu GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun).

Apa itu Oikumene ?
Oikumene berasal dari bahasa Yunani, oikeo yang artinya tinggal, berdiam, atau juga mendiami. Dengan demikian,secara harafiah Oikumene adalah “yang didiami”. Istilah oikumene akhirnya dipakai dalam gereja. Gereja yang Oikumenis berarti gereja yang universal.
Pengertian oikumenis semakain lama semakin berkembang. Dan arti modernnya, oikumenis tidak lagi merujuk kepada suatu kenyataan, melainkan terhadap suatu tujuan yang hendak dicapai melalui suatu usaha dan pergumulan, yaitu gereja yang satu (esa), kudus, am, dan rasuli yang dipercayai dan harus diwujudkan secara nyata.
Bagaimana Memahami Ke-esaan Gereja ?
Tujuan gerakan oikumenis adalah menuju ke-esaan Gereja-gereja. Akan tetapi, muncul pertanyaan: ke-esaan yang bagaimana yang hendak dicapai? Apakah ke-esaan itu harus ditunjukkan dengan hanya ada satu gereja?, atau cukupkah ke-esaan gereja dipahami dari segi rohani, yaitu bahwa semua gereja yang ada di dunia ini mengaku satu dalam Kristus. Bagaimana ke-esaan itu hendak diwujudkan masih menjadi persoalan yang digumuli dalam gerakan oikumenis.Ada enam hal yang penting untuk ke-esaan gereja:
1. Pemahaman iman bersama
2. Babtisan
3. Perjamuan kudus
4. Jabatan yang diterima secara umum
5. Kebebasan dalam tafsiran tentang anugerah sakramental dan jawaban, serta wibawa jabatan
6. Tempat yang wajar untuk karunia kenabian.
Ke-esaan Gereja bagi Gereja-gereja Oikumene
• HKBP salah satu Gereja yang turut menyatakan Ke-esaan Gereja
Untuk melihat pernyataan Huria Kristen Batak Protestan dalam ke-esaan gereja-gereja, dibawah ini dinyatakan dalam Aturan Peraturan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada tahun 2002:
“HKBP turut serta menyatakan ke-esaan gereja-gereja yang satu iman dengan HKBP maupun dengan segenap orang Kristen di seluruh dunia sesuai dengan doa Tuhan Yesus: “supaya mereke semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya bahwa Engkau yang mengutus Aku.” (Yoh. 17: 21) Demikian juga ajaran Rasul Paulus yang mengatakan : “Satu Tuhan, satu iman, satu babtisan. Satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan di dalam semua.” (Ef. 4:5-6)”


GKPS yang turut menyatakan Ke-esaan Gereja
Berbicara tentang ke-esaan Gereja, bukalah yang dimaksudkan untuk menyatukan semua Gereja menjadi satu. Sebagai contoh tidak harus memiliki satu nama Gereja, ataupun misalnya di Indonesia, ada satu Ephorus atau pimpinan yang memimpin seluruh Gereja di Indonesia. GKPS, sebagai salah satu Gereja yang turut menyatakan ke-esaan Gereja mempunyai prinsip untuk bersama-sama memikul beban yang berat bersama dengan gereja lain, terkhusus dalam hal PI (Pengabaran Injil). Selain itu, adanya prinsip untuk bersatu dalam Kristus merupakan faktor yang turut mendorong GKPS terlibat dalam Ke-esaan Gereja.
GKPS turut merasakan manfaat yang diterima dari gerakan Oikumene (terkhusus PGI). Sebagai contoh, suara GKPS bisa menjadi suara Gereja lain dengan komunikasi kepada PGI (Persekutuan Gereja di Indonesia). Adanya beban yang menimpa GKPS, gereja yang tergabung dalam gerakan Oikumene turut membantu meringankan beban yang menimpa GKPS. Contoh lainnya adalah apabila ada permasalahan dalam GKPS, dapat diselesaikan bersama dengan gereja lain, asalkan ada keterbukaan. Dalam praktek Pekabaran Injil yang diselenggarakan PGI, GKPS turut membantu.
Tidak bisa dipungkiri, GKPS dalam keanggotaannya dalam gerakan Oikumene juga menghadapi kendala-kendala. Diantaranya adalah, dalam gerakan Oikumene Internasional GKPS menghadapi kendala/ masalah dalam hal bahasa. Disamping itu, masalah keuangan merupakan salah satu kendala yangdihadapi GKPS. Masalah komunikasi yang macet dengan gereja yang tergabung dalam gerakan Oikumene turut menjadi masalah. Misalnya, GKPS diperhadapkan dengan masalah. Tetapi GKPS sepertinya menutup diri (tidak ada komunikasi dua arah) dengan demikian, Gereja yang tergabung dalam gerakan Oikumene tidak mengetahui yang terjadi.
GKPS tidak memandang ke-esaan Gereja yang ada harus menyamakan Tata Ibadah. GKPS memandang ke-esaan Gereja terwujud dalam ikrar rasa kebersamaan di dalam Kristus. Satu dalam Kristus itulah yang dimaksudkan dengan ke-esaan Gereja. Gerakan Oikumene sama dengan hubungan saudara antara kakak dengan adik. Sebagai contoh: HKBP nabolon i, harus menganggap saudara GKPS yang masih kecil.


KESIMPULAN
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), merupakan dua gereja dari beberapa gereja yang tergabung dalam Gerakan Oikumene. Kedua gereja ini memandang, satu dalam Kristus merupakan faktor yang mendorong untuk tergabung dalam Gerakan Oikumene. Demikian juga dengan gereja-gereja yang lain, perbedaan interpretasi terhadap injil bisa saja berbeda, tetapi tetap satu dalam injil tersebut. Bukan berarti gereja-gereja yang ada harus satu nama, satu tata ibadah, satu pemimpin, dan satu dalam hal yang lain. Tetapi, satu dalam Kristus.

Sumber-sumber:
1. Wawancara dengan Biro Oikumene Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)
2. Christian De Jonge dalam bukunya Menuju Keesaan Gereja

Biodata Penulis :
Nama : Gomgom Tua Pasaibu
Lahir : Tarutung, 28 Agustus 1989
Pekerjaan : Mahasiswa Theologi
Gereja : HKBP Sitompul, Resort Simorangkir, Distrik II Silindung
Alamat
Rumah : Desa Sosunggulon, Kec. Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara
Kampus: Sekolah Tinggi Theologi (STT) HKBP Jl. Sangnawaluh, No. 06 Pematang Siantar

Makna Dasa Titah ke-Lima (5) dan Penghormatan kepada Leluhur dalam Masyarakat Batak Toba


I.       Pendahuluan
Dalam kehidupan bermasyarakat, terkhusus dalam masyarakat batak sangatlah menekankan supaya setiap anak taat kepada orangtua. Ketaatan itu hendaknya ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan setelah orang tua meninggal dunia. Setelah ke-Kristenan masuk ke tanah batak, hal itu semakin diperkuat dengan dasar Dasa Titah yang kelima (5). Tentu menarik untuk membahas makna yang terkandung dalam Dasa Titah yang kelima (5). Disamping itu, penulis juga akan membahas bagaimana tradisi masyarakat batak toba dalam menghormati orang tua. Lebih tajam lagi, penulis akan membahas tradisi itu yang dihubungkan dengan Dasa Titah yang kelima (5).
Dengan prinsip yang berdasar kepada Dalihan Natolu, diharapkan juga Dasa Titah secara umum, dan Dasa Titah kelima secara khusus. Untuk mempermudah kita dalam memahami tulisan ini, Penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
I.        Pendahuluan
II.       Makna Dasa Titah ke- Lima (5)
III.    Tradisi Masyarakat Batak Toba dalam Penghormatan kepada Leluhur
IV.    Dasa Titah ke- Lima dan Penghormatan kepada Leluhur dalam Masyarakat Batak Toba
V.      Konfessi HKBP Terhadap Orang yang Sudah Meninggal
VI.    Relevansi
VII.  Kesimpulan



II.    Makna Dasa Titah ke- Lima (5)
Menurut cerita peristiwa di Sinai, Dasa Titah yang mempunyai arti kesepuluh Firman (bah. Ibrani aseret devarim), diberikan Tuhan Allah kepada Israel (Kel.20:2-17); Ul. 5:6-21). Meskipun Musa menjadi seorang perantara, sebagaimana namanya yang pada akhirnya dipakai untuk menyebutkan hukum-hukum yang lain. Titah itu dikatakan telah diucapkan dan dilukiskan dalam dua loh batu oleh Allah sendiri, sehingga mutlak dan dianggap lengkap.[1] Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu. Demikian titah kelima (Kel. 20:12). Yang menjadi pertanyaan adalah, apa makna titah ini. Pertanyaan berikutnya yang penting adalah kepada siapa titah ini diajarkan atau diperintahkan? Apakah hanya kepada anak-anak saja? Banyak orang salah mengerti akan titah ini. Titah ini, bukanlah disampaikan hanya kepada anak kecil saja. Namun, dituliskan juga bagi orang dewasa. Kata hormatilah dalam titah ini dipakai dalam bahasa Ibrani adalah kabeed (harafiah: menilai berat, seperti dalam timbangan atau menilai tinggi, seperti dalam memasang harga). Artinya adalah, bahwa kita tidak boleh menganggap enteng atau meremehkan atau memandang rendah orangtua atau orang lanjut usia.[2]
Kalau keempat titah sebelumnya mengenai kewajiban orang Israel terhadap Allah, maka firman selanjutnya mengenai kewajiban terhadap sesama manusia. Yang pertama adalah titah kelima: Hormatilah ayahmu dan ibumu, hal ini dilihat sebagai kewajiban sesama manusia yang paling dekat dan penting. Titah ini kemungkinan besar tujuan pokoknya bukanlah mengajarkan anak-anak atau pemuda/i tentang sikap mereka terhadap orangtua. Tetapi mengajarkan orang-orang dewasa akan sikap mereka terhadap orangtua mereka. Tetapi titah ini mengajarkan sikap terhadap orangtua yang lanjut usia dan yang kekuatannya sudah berkurang. Arti ungkapan ayahmu dan ibumu bisa diperluas sehingga termasuk semua keluarga yang sudah tua. Dengan demikian hubungan dalam keluarga serta hubungan antara generasi-generasi dijaga dan tetap baik. Dalam Tradisi Israel, seseorang tidaklah diijinkan menilai rendah orangtua atau memperlakukannya secara keras, dan tidak bisa menolak memberikan kepadanya makanan yang dibutuhkannya atau memaksa dia meninggalkan rumah supaya tidak lagi hidup bersama.[3]
Titah ini mau menata hidup dalam keluarga. Oleh karena itu, perintah keempat tidak sekedar mengajarkan etika keselarasan dan ketaatan dalam keluarga, melainkan lebih dari suatu etika pemeliharaan dan perlindungan hidup, yang lahir dari rasa sayang akan hidup. Titah ini ditujukan kepada seluruh keluarga dalam arti luas untuk saling memelihara dan melindungi hidup kita. Hidup merupakan pemberian Allah. Semua keluarga masing-masing mengambil bagian dalam proses hidup itu. Itulah latar belakang titah ini yang pada intinya mengajak manusia untuk hormat akan hidup sendiri. Kita harus menghormati orangtua karena dari mereka kita mendapat hidup. Hormat kepada ayah dan ibu lebih dari sopan santun yang menciptakan suasana harmonis dalam keluarga. Hormat kepada orangtua berarti hormat kepada hidup, pemberian Allah, sebab melalui mereka turunlah hidup serta segala berkat dari Tuhan.[4]
Perintah titah ini merupakan yang utama dalam mengajarkan tindakan kepatuhan terhadap orangtua. Kita harus memahami bahwa meskipun kepatuhan anak pada kita agaknya bukanlah suatu hal yang sangat besar atau bahkan mungkin bukan sesuatu yang kita pikir penting, kita tidak dibenarkan membuat suatu keputusan. Meskipun ketika hal itu tampak sulit dan pertempuran terlihat bakal terus berlangsung terus tanpa akhir, kita tetap dibutuhkan, seperti juga mereka yang berada dibawah kewenangan Allah, untuk mengajarkan anak agar patuh, tunduk dan hormat.[5]
Dasa Firman hendak diketahui diberikan setelah umat Israel bebas dan telah dewasa. Dalam hal ini, kepada mereka ditekankan kewajiban untuk memperhatikan, menghormati, dan memelihara orang tua, yaitu generasi yang sudah tidak dapat bekerja lagi, dan tidak dapat bekerja lagi, dan tidak dapat mencari rezeki sendiri. Maka perintah itu tidaklah pertama-tama diberikan kepada yang tidak berkuasa supaya taat kepada yang berkuasa, melainkan diarahkan kepada orang yang berdiri sendiri, supaya mereka tidak mengesampingkan orangtua yang sudah menjadi lemah. Maksud utama titah ini adalah hormat, setia, serta bersyukur atas jasa mereka dulu. [6]

III. Tradisi Masyarakat Batak Toba dalam Penghormatan kepada Leluhur
Pemujaan leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dunia dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, ada banyak kasus dimana orang mati tidak diilahkan, melainkan dianggap sebagai mahluk-mahluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi.[7]
Dalam masyarakat batak, adat diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang kepada keturunannya. Adat itu diterapkan dalam upacara-upacara adat maupun tradisi-tradisi adat. Dalam penghormatan kepada orangtua, ada beberapa pokok yang berkaitan. Yaitu:
1.      Sumangot
Bagi masyarakat batak, roh leluhur (sumangot ni ompu) menduduki tempat yang khusus. Terutama mereka yang sewaktu hidupnya menjadi kaya, mempunyai kekuasaan, dan yang keturunannya banyak. Dan sumangot ini, ingin disembah dan dihormati dengan sesajen agar terus bergiat dalam memajukan kesejahteraan keturunan leluhur itu. Dengan demikian, panen akan melimpah ruah, kekayaan bertambah-tambah, ternak berkembang biak, akan lahir banyak anak, dan akan terhindar dari bencana. Tetapi, sebalikna jika roh itu dilalaiakn anak-anak akan mati, panen gagal, ternak sakit, dan berbagai malapetaka akan datang menimpa. Biasanya masyarakat akan ke datu, untuk menanyakan apakah roh leluhurnya murka (bah. Batak : tarrimas). Jika memang demikian halnya, datu akan menentukan macam pengurbanan yang mesti dilakukan. Kadang-kadang, roh mengungkapkan kehendak dan keinginannya melalui perantara yang kerasukan roh pada suatu peristiwa khusus.[8]
Roh harus dihormati serta dipuja, karena mereka merupakan roh-roh leluhur. Roh jahat harus diberi sesajen, agar tidak marah. Menurut masyarakat batak, manusia memiliki tondi atau roh yang tidak tampak. Tondi ini mengikuti manusia selama manusia itu masih hidup. Jika manusia itu sakit, tondi meninggalkan tubuhnya selama ia sakit. Tetapi, jika manusia itu telah mati, tondinya atau rohnya akan meninggalkan jasadnya untuk selamanya dan itu yang dikenal dengan tondi ni Namate.[9]
2.      Tugu
Tugu merupakan bangunan patung nenek moyang, yang kadangkala berkaitan dengan upacara penggalian tulang belulang. Dengan adanya tugu, pemujaan leluhur di tanah batak telah mendapat suatu perwujudan yang seharusnya mendapat perhatian kita. Bagi masyarakat batak, tugu merupakan bukti fisik adalam menunjukkan penghargaan kepada leluhur. Dalam upacara yang dilakukan keluarga, keturunan dari leluhur akan berkumpul, dan seluruh anggota yang mempunyai keterikatan melalui dalihan natolu mempunyai giliran dan kepentingan sesuai adat batak. Tradisi pembangunan tugu ini diyakini akan memperkuat tali penghubung kerabat, dan hal ini akan semakin meningkatkan perasaan sejahtera bagi yang masih hidup. [10]
IV. Dasa Titah ke- Lima dan Penghormatan kepada Leluhur dalam Masyarakat Batak Toba[11]
Dalam cerita peristiwa di Sinai, Tuhan Allah memberikan Dasa Titah (Ibrani = aseret devarim) kepada bangsa Israel (Kel 20:2-17; Ul 5:6-21). Dasa Titah itu dipahatkan Allah sendiri dalam dua buah loh batu. Dasa Titah itu merupakan ringkasan yang sederhana tetapi menyeluruh tentang ketentuan-ketentuan hakiki hubungan perjanjian dan membatasi tingkah laku yang sesuai dengan keanggotaan umat Allah. Salah satu isi dari Dasa Titah itu adalah tentang menghormati orang tua, bahkan dikatakan agar engkau beroleh kebahagiaan dan lanjut umurmu di bumi yang diberikan Allah kepadamu.
Dasa Titah itu bukan saja diberikan kepada bangsa Israel waktu itu, tetapi Dasa Titah itu juga sampai kepada kita saat ini, dan berlaku sampai selama-lamanya. Inilah kelebihan dari Titah dan firman Allah, berlaku dahulu, sekarang (masa kini) dan rnasa yang akan datang. Tinggal yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita menghayati Titah atau firman Allah itu.
Banyak orang yang kurang memahami makna dari Titah ke-5 tersebut. Mereka menyangka bahwa orangtua adalah hanya sebatas orang tuanya sendiri, padahal yang dimaksud dengan orangtua itu adalah termasuk orang yang lebih tua dari kita, bukan hanya orangtua kita sendiri saja. Tambahan lagi, menghormati orangtua sering diartikan dengan sebatas memberikan sesuatu (benda/hadiah) kepada mereka. Dan hal yang lebih konyol lagi, tentang pemujaan kepada leluhur. Pemujaan kepada leluhur bagi orang Batak merupakan nilai tertinggi, yang dilakukan dengan segala macama upacara dan tata cara. Misalnya dalam pembangunan tugu yang dianggap sebagai penghormatan kepada leluhur. Alasan-alasan yang dibuat untuk pembangunan tugu tersebut adalah sesuai dengan Titah ke-5. Di samping itu juga dipakai ayat-ayat Alkitab sebagai alasan untuk pembangunan tugu, antara lain Kejadian 25.7-11 : Tentang Abraham yang dikuburkan Ishak dan Ismael di gua Makhapela; Kejadian 49 . 29 . Pesan Yakub kepada anak-anaknya supaya dikuburkan di sisi nenek moyangnya; Kejadian 50 : 25 : Pesan Yusuf kepada saudara-saudaranya agar dikuburkan di sisi nenek moyangnya dengan membawa tulang belulangnya dari Mesir ke Kanaan. Ditambah dengan peribahasa Batak yang mengatakan : "Tinaba hau toras bahen sopo tu balian, na burju marnatoras ingkon dapotan parsaulian". Artinya barang siapa yang baik dan hormat kepada orang tuanya akan mendapat kesejahteraan. Tapi semua hal itu dipahami oleh sebagian orang (terutama orang Batak) dengan membuat tugu-tugu (kuburan) orang tua mereka dengan kemewahan yang luar biasa, juga acara-acara pesta pada waktu kematian. Suatu hal yang sepertinya kontroversial, dalam acara kematian terlihat tari-tarian (tortor) dengan musik yang sungguh menggegerkan.
Melihat beberapa persoalan diatas, maka perlu dicermati agar kita jangan salah mengartikan Titah ke-5 itu, bagaimana sebaiknya kita memahami terlebih melakukannya dalam kehidupan kita sebagai umat percaya.
1.      Menghormati Orang tua.
Sebagaimana dikatakan bahwa yang harus dihormati bukan hanya sebatas orangtua kita sendiri, tetapi juga termasuk orang-orang yang lebih tua dari kita. Kewajiban yang diarahkan disini adalah bagaimana menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama, bahkan kalau kita bandingkan dengan etika Perjanjian Baru, justru dikatakan supaya saling menghormati. Sebab saling menghormati merupakan dasar tata tertib sosial dan damai sejahtera. Bukan itu saja, menghormati juga berarti mengasihi. Hormat bukan berarti takut tanpa alasan, justru hormat adalah didorong oleh rasa kasih dan ucapan terima kasih yang mendalam, dan sebagi wujud dari rasa rendah hati.
2. Menghormati orang hidup, bukan orang mati.
Dalam pengertian Yahudi, siapa yang menghormati orangtuanya pasti akan memelihara mereka pada umur tuanya. Tapi sering tanpa sadar, orang justru menghormati orang tua yang sudah mati. Sebagai contoh, ada seorang anak yang merantau dan dia berhasil di perantauan, katakanlah dia menjadi orang yang terkenal dan kaya raya. Tapi dia tidak pernah ingat kepada orangtuanya dan saudara-saudaranya yang ditinggalkannya di tanah kelahirannya. Mengirim surat ataupun menelpon pun tidak pernah, apalagi pulang ke kampungnya. Suatu saat dia mendapat kabar bahwa ayahnya telah meninggal dunia, dia pun pulang ke kampungnya. Karena dia termasuk orang yang terpandang dan kaya raya, dia membuat pesta besar-besaran pada acara kematian ayahnya tersebut, bahkan dia membuat kuburan untuk orang tuanya dengan biaya ratusan juta. Inilah pemahaman yang kurang benar, semasa hidupnya sang ayah tinggal di rumah yang atapnya bocor, sempit dan pengap. Tapi giliran ayahnya sudah mati dibuatkan rumah yang mewah. Dan ada lagi beberapa hal yang mungkin perlu kita cermati, soal kebiasaan orang batak, misalnya dalam hal memberikan "sulang-sulang" atau memberikan makanan kepada orangtua. Ketika hal itu dilakukan justru yang 'makan' enak adalah anak-anaknya, sebab orangtua yang sudah lanjut usia itu tidak bisa lagi memakan makanan yang diberikan anak-anaknya. Semasa orangtuanya sehat, sebiji kue pun tidak pernah diberikan, giliran sudah tua dan sakit-sakitan diberikan "sangsang' atau daging kerbau, coba kita bayangkan bagaimana orangtua tersebut memakannya? Baiklah kita mengingat orangtua kita setiap saat, terlebih pada masa hidupnya, bukan soal banyak ataupun besarnya yang kita berikan, tapi perhatian itulah yang diharapkan orangtua kita.
3. Tugu hidup, bukan tugu mati.
Sebagaimana dikatakan tadi, bukan tugu atau kuburan yang mahal sebagai tanda penghormatan kita kepada orangtua. Sungguh sangat disayangkan, jika masih terjadi lagi persaingan-persaingan yang kurang beralasan, supaya marganya lebih hebat dilihat orang misalnya, ada beberapa marga yang membuat tugunya sampai bermilyaran, ada yang membangun tugu leluhurnya (moyangnya) di tanah berhektar-hektar. Padahal orangtua dan sanak-keluarganya di daerah itu hidup dalam serba kekurangan. Adalagi orang yang sampai-sampai berhutang banyak hanya untuk membuat kuburan yang mewah. Kuburan megah dan mewah dengan lampu di sana sini, tapi disebelahnya rumah tempat tinggal yang hampir ambruk dengan hanya diterangi lampu teplok (dian). Orang-orang kota sibuk dengan pesta-pesta dan acara pengumpulan dana hanya untuk membangun tugu leluhur mereka, padahal semua itu hanyalah benda mati belaka. Tambahan lagi, kebiasaan "bona taon" yang sering dilakukan sampai-sampai menghabiskan biaya ratusan juta hanya untuk kegembiraan sehari, padahal keluarga atau kampungnya sangat membutuhkan bantuan. Alangkah baiknya tugu mati itu diubah menjadi tugu hidup. Dana untuk membangun tugu mati dibuat untuk tugu hidup, seperti pembangunan sekolah-sekolah, jalan-jalan, air minum, gereja, pertanian, dsb.


4. Jauhkan kesombongan dan takhayul.
Kesombongan dan takhayul inilah mungkin penyebab dari kejadian-kejadian di atas. Sering memang hasutan-hasutan menggoda orang melakukan hal-hal yang kurang tepat. Contohnya dalam peristiwa kematian, harus dibuat musik (gondang) untuk menghargai orang tua yang sudah mati, tambahan lagi supaya orang ramai-ramai datang untuk mendengarkan musik (gondang) tersebut. Harus memotong kerbau, karena yang mati itu sudah "saur matua" (tidak ada lagi beban tanggungannya). Acara harus dibuat sedemikian meriahnya supaya kelihatan kalau keturunan (pinompar) dari orangtua yang mati tersebut adalah orang-orang yang sukses dan berada. Bukankah hal-hal yang demikian adalah kesombongan? Terkadang juga sungguh sangat menyedihkan, banyak orang menghadapi kematian dari orangtuanya sampai-sampai harus berhutang. Sudah ditimpa kemalangan, juga ditimpa hutang. Tanpa sadar memang kita melihat orang-orang dalam acara kematian asyik dengan tarian (tortor) mereka dan makan ramai-ramai. Alasan-alasan turut berduka cita, penghiburan dan berbagai macam alasan sering diberikan untuk membenarkan perilaku tersebut! Tambahan lagi pakaian-pakaian mewah dan pakaian-pakaian seragam pada waktu kematian menambah persoalan yang membingungkan.
5. Berilah yang patut (Markus 7 :10 -13)
Allah sungguh sangat menginginkan kita menghormati dan mengasihi orangtua kita. Sering kita salah mengartikan bahwa hormat dan mengasihi Allah dapat dilakukan dengan mengabaikan orangtua kita. Memang benar bahwa menghormati dan mengasihi Allah adalah yang utama dari segalanya. Namun kita harus ingat, bahwa menghormati dan mengasihi Allah itu juga adalah perwujud-nyataan dari hormat dan kasih kita terhadap orangtua. Jika kita membaca 1 Yoh 4:20, dikatakan bagaimana mungkin kita benar menghormati dan mengasihi Allah yang tidak kelihatan itu, sedangkan orangtua yang disekitar kita sendiri tidak kita hormati dan kasihi, itu namanya pendusta! Kita harus berhati-hati dengan ajaran-ajaran atau pun dogma-dogma yang memakai nama gereja atau kekristenan yang mengajarkan pentingnya 'persekutuan gereja' diatas segala-galanya. Tidak perlu menuruti orangtua, yang penting teman satu persekutuan; orang tua dianggap sebagai orang berdosa yang belum hidup baru sehingga tidak perlu didengar nasehatnya; perpuluhan lebih penting daripada menolong orang tua yang kekurangan. Kita harus ingat ketika Yesus berkata : "apa yang kamu lakukan terhadap anak kecil ini, sama dengan apa yang kamu perbuat kepadaKu". Kebaikan yang kita lakukan terhadap sesama kita sama dengan kebaikan yang kita lakukan terhadap Allah. Itulah perwujud-nyataan iman yang benar, bagaimana kita merefleksikan iman itu dalam hidup kita.
Dari beberapa keterangan di atas, kita perlu menyadari betapa pentingnya untuk menghormati orangtua kita. Dan penghormatan itu diberikan bukanlah pada saat kematiannya, tetapi semasa hidupnya. Inilah hukum kasih yang diperintahkan Allah kepada kita, bagaimana kita mengasihi sesama kita (orang tua kita). Menghormati dan mengasihi orangtua akan mendatangkan berkat berkelimpahan dari Tuhan Allah.

V.    Konfessi HKBP Terhadap Orang yang Sudah Meninggal[12]
Manusia telah tentu satu kali mati dan kemudian daripada itu datang hukaman. Ibr 9: 27. Mereka itu akan berhenti dari kelelahannya. Wahyu 14: 53. Dan Yesus Kristuslah Tuhan dari orang-orang yang mati dan yang hidup.
Dalam kita mengadakan peringatan kepada orang yang mati, kita mengingat pula akhir kita sendiri dan menguatkan pengharapan kita pada persekutuan orang-orang percaya, yang menetapkan hati kita di dalam pergumulan hidup ini. Wahyu 7: 9 - 17.
Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran animisme yang mengatakan : Roh-roh dari orang-orang mati masih dapat bergaul dengan manusia. Demikian pula ajaran yang mengatakan : Roh dari yang mati tinggal di kuburnya. Juga kita tolak ajaran dari Gereja Katholik Roma yang mengajarkan tentang api ujian (vagevuur) yang harus dialami seberapa lama untuk membersihkan roh orang mati, sebelum tiba kepada hidup yang kekal dan orang dapat melakukan missa untuk orang mati dan memdoakan orang mati itu supaya lebih cepat terlepas dari api itu.
Demikian pula doa kepada roh dari orang-orang kudus dan yang mengharapkan bahwa kekuatan dan kekudusan orang itu dapat turun dari kuburan, pakaian, barang atau tulang-tulangnya (relikwi).
VI. Relevansi
Hormatilah ayahmu dan ibumu, tentu hal ini yang selalu terngiang di pikiran masyarakat batak, sebagai konsekuensi dari “anakhonhi do hamoraon di ahu” (anak adalah kekayaan bagi orang tua). Namun dalam pelaksanaannya, sering sekali masyarakat batak tidak memahami makna hormat yang terkandung di dalam titah ke 5 (lima). Sehingga sekarang ini, bisa kita melihat cara-cara yang dilakukan seperti pembangunan tugu oleh kelompok keluarga dengan pesta besar, berlatar rumah yang sudah tua, rusak dan memprihatinkan. Dengan melintasi jalan yang sangat rusak, dan juga melihat banyak anak yang putus sekolah.
Hendaknyalah Makna Hormat seperti yang sudah di jelaskan adalah, ketika orangtua masih hidup, dengan tidak mengabaikan kelangsungan hidupnya. Bukan setelah mati. Dengan melangsungkan pesta besar yang tidak berarti.

VII. Kesimpulan
·         Sepuluh Perintah Allah, Sepuluh Firman Allah, atau Dasa Titah atau bahasa Latinnya Dekalog (δέκα λόγοι) adalah daftar perintah agama dan moral,yang merupakan sepuluh perintah yang ditulis oleh Tuhan dan diberikan kepada bangsa Israel melalui perantaraan Musa di gunung Sinai.
·         Dasa Firman hendak diketahui diberikan setelah umat Israel bebas dan telah dewasa.
·         Dasa Titah itu merupakan ringkasan yang sederhana tetapi menyeluruh tentang ketentuan-ketentuan hakiki hubungan perjanjian dan membatasi tingkah laku yang sesuai dengan keanggotaan umat Allah. Salah satu isi dari Dasa Titah itu adalah tentang menghormati orang tua.
·         Masyarakat batak dalam tradisi sering sekali tidak memahami Makna Titah ke 5 (lima). Seperti misalnya dalam menghormati leluhur, penghormatan yang dinamakan sumangot serta pembangunan fisik tugu, yang dinilai bentuk menghormati orang tua.


[1]Christopher Wright (terj. Liem Sien Kie), Hidup Sebagai Umat Allah; Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 152-153
[2] Hanna Santoso & Andar Ismail, Memahami Krisis Lanjut Usia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 13-14
[3] Robet M Paterson, Tafsiran Alkitab; Kitab Keluaran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 269
[4] Yosef Lalu, Manusia Menggumuli Makna Hidupnya, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 184-187
[5] Elyse Fitzpatrick & Jim Newheiser, When Good Kids Make Bad Choices, (Jakarta: PT Agramedia Pustaka, 2006), hlm. 70-71
[6] C Kiswara, Dasa Firman Allah; Makna dan Penerapannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 57-58
[7] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 79
[8] J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta: Pustaka Azet, 1985), hlm. 82-83
[9] Tedi Sutardi, Antropologi; Mengungkap Keragaman Budaya, (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007), hlm. 27
[10] J.C. Vergouwen, Op.Cit., hlm. xix
[11] M.R.Situmorang “Hukum Taurat Ke V” dalam Buletin Narhasem, yang diambil dari http://buletin-narhasem.blogspot.com/2010/07/artikel-hukum-taurat-ke-v.html tanggal 05 September 2010, pukul. 15.09
[12] Diambil dari situs www.hkbp.or.id pada hari Minggu 05 September 2010, pukul 13.50 WIB